Selasa, 21 September 2010

UPACARA ROKO MOLAS

UPACARA ROKO MOLAS POCO

A. Apa itu upacara Roko Molas Poco?


Dilihat dari segi kata, Roko berarti mengambil, Molas diidentikkan dengan wanita cantik dan Poco berarti gunung.
Upacara ini merupakan upacara pengambilan kayu di hutan yang digunakan sebagai tiang utama dalam pembuatan rumah adat (mbaru tembong).
Dalam upacara ini “Molas Poco” yang diambil untuk dijadikan tiang utama (Siri Bongkok) yang akan dibuat dan diletakkan di tengah-tengah rumah adat yang akan dibuat; dan rumah adat yang akan dibuat tersebut berbentuk kerucut dan bagian ujung atas rumah dipasang tanduk kerbau (rangga kaba).

B. Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan upacara Roko Molas Poco

1. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini tokoh-tokoh adat (tu’a golo, tu’a teno) mengundang anggota masyarakat, berkumpul di halaman kampung (natas) untuk mengadakan musyawarah dalam rangka pembuatan rumah adat (mbaru tembong).

2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini, anggota masyarakat maupun tokoh-tokoh adat dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Roko Molas Poco (kelompok yang akan pergi ke hutan untuk mengambil kayu tersebut) dan kelompok sundung/curu molas poco (kelompok yang akan menjemput Molas Poco tersebut). Upacara Roko Molas Poco ini diawali dengan acara teing hang atau pemberian sesajian di altar sesajian (compang) yang dipimpin oleh tu’a golo.
Setelah upacara “teing hang” selesai, barulah kelompok “Roko Molas Poco” berangkat ke hutan (puar) dengan membawa ayam (manuk), tuak, kapak (cola), parang (kope), serta alat-alat lain yang dibutuhkan saat upacara tersebut berlangsung.
Setiba di hutan, kelompok “Roko Molas Poco” beserta tu’a golo duduk menghadap pohon yang akan dijadikan sebagai “Molas Poco” atau “Siri Bongkok”. Kemudian tu’a golo, menyampaikan permohonan atau kepok atau torok tae kepada roh-roh, arwah-arwah nenek moyang.
Setelah torok tae tersebut selesai barulah kayu tersebut dipotong dan “Molas Poco” tersebut diusung ke kampung oleh kelomppok Roko. Sesampainya di dekat kampung (Pa’ang beo) kelompok Roko Molas Poco tersebut dijemput (sundung/curu) oleh kelompok penjemput, dengan diiringi tarian-tarian dan dilanjutkan torok/kepok sundung/curu.

C. Pihak-pihak yang terlibat
Pihak yang terlibat dalam upacara Roko Molas Poco yaitu tokoh-tokoh adat (tu’a golo, tu’a teno) serta seluruh anggota masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah tersebut.
Keterlibatan tu’a golo, tu’a teno dalam upacara ini sebagai orang yang memimpin upacara Roko Molas Poco dan juga sebagai orang yang menyampaikan torok/kepok saat upacara berlangsung.
Keterlibatan anggota masyarakat yaitu sebagai orang yang mengambil (Roko) serta menjemput (curu/sundung) “Molas Poco” atau “Siri Bongkok” bersama tu’a teno dan tu’a golo.

D. Apa saja yang dibutuhkan untuk upacara tersebut?
Yang dibutuhkan dalam upacara “Roko Molas Poco” ini diantaranya adalah ayam (manuk), moke (tuak), kapak (cola), serta parang (kope).

E. Dimana acara itu dilakukan?
Acara “Roko Molas Poco” ini dilakukan di halaman kampung (natas) dan pengambilan “Molas Poco” (Roko Molas Poco) dilakukan di hutan (puar).

F. Kapan acara itu dilakukan?
Acara “Roko Molas Poco” ini dibuat dalam rangka pembuatan rumah adat (mbaru tembong).

G. Mengapa acara itu dilakukan?
Acara “Roko Molas Poco” ini dibuat karena merupakan warisan leluhur. Dan tujuan upacara ini dibuat agar rumah adat atau mbaru tembong yang akan dibuat tetap kokoh, serta memberikan ketentraman bagi warga yang mendiami kampung tersebut.
GO’ET MANGGARAI

* Nilai Religius

- Mori jari dedek, tanan wa awangn eta, pukul parn agu kolep, ulun le wain lau:
(Tuhan pencipta langit dan bumi serta segala isinya, Tuhan pencipta dan pembentuk kehidupan manusia dan segala makhluk serta segala alam raya)

* Nilai Kesehatan

- Neka nepo leso, neka ringing tis:
(Jangan lekang karena terik matahari, jangan demam karena hujan rintik)

- Uwa haeng wulang, langkas haeng ntala
(Tinggi sampai di bulan dan jangkau sampai di langit)

- Cimang neho rimang cama rimang rana, kimpur neho kiwung cama kiwung lopo
(Kekar kuat seperti batang lidi ijuk dari jenis pohon enau yang bertumbuh subur)

* Tentang Persahabatan

- Curup hae ubu, neho luju mu’u cepa hae reba cama neho emas lema:
(Bersahabatlah dengan baik dan berbicaralah dengan sopan)

- Neka conga bail jaga poka bokak, neka tengguk bail jaga kepu tengu :
(Jangan congkak atau sombong)

- Ngong ata lombong lala, kali weki run lombong muku:
(Orang lain dipersalahkan padahal diri sendiri bersalah)

- Nai ca anggit, tuka ca leleng:
(Seia sekata, satu konsepsi demi kesatuan aksi)

- Inggos-inggos wale io:
(Cepat-cepat jawal io (jawab sopan)

* Tentang Permusuhan
- Purak mukang wajo kampong:
(Orang yang menyerang kampung berhadapan muka)

- Ngampong tanah, ngawe wae:
(Dibatasi dengan jurang dan kali, permusuhan yang tidak boleh melanggar batas)

- Sesa mu’u eta kali ngampong kin tuka wa:
(Di mulut baik-baik, padahal dalam hati tetap bermusuhan)

- Tu’ung le mu’u toe le nai:
(Mulut berkata benar tetapi hati tidak)

* Tentang Kebijaksanaan
- Ca pujut kali nuk, ca dako kali anor:
(Kurang bijaksana)

- Tiwu lewe lewing lembak
(Kolam besar dan priuk bermulut lebar)

- Nai ngagil tuka ngengga
(Penuh kebijaksanaan)

* Tentang Memberi Motivasi

- Kantis ati, racang rak cengka lemas:
(Hati dan paru-paru diasah)

- Na’a ngger wa rak, na’a ngger eta lemas:
(Supaya berani berjuang sampai memperoleh yang diharapkan)

- Ngo le golo bombong wela lokom:
(Hati-hati jangan sampai di atas bukit sudah berbunga seperti kayu lokom)

- Lalong pondong du ngon, lalong rombong du kolen:
(Pulang membawa keberhasilan)

- Asam ndusuk tana ru konem lalen tana sale:
(Walaupun negeri sendiri ditumbuhi ndusuk dan tanah orang berkelimpahan lale)

- Neka hemong kuni atu kalo/neka oke kuni atu kalo:
(Jangan lupa kampung halaman sendiri/jangan buang kebiasaan tanah tumpah darah)

* Tentang Menjaga Nama Baik

- Neka pocu wa’u, neka jogot hae golo:
(Jangan membusukkan nama anggota klen/subklen dan sesama kampung)

- Neka mas agu hae ata, neka nggaut agu hae mbaru:
(Jangan bermusuhan dengan orang)

- Reges lima leke, tawa lima gantong:
(Tertawa lepas terbahak-bahak menunjukkan kegembiraan dalam kebersamaan)

* Go’et yang Berhubungan Dengan Leluhur

- Serong dise empo mbate dise ame:
(Wasiat leluhur, warisan ayah)

- Tanah ledong dise empo:
(Tanah warisan leluhur)

- Tanah kuni atu kalo:
(Kampung halaman)

* Go’et Pergantian Keturunan

- Eme wakak betong asa, manga waken nipu tae:
(Kalau induk rumpun bambu tumbang, akarnya tumbuh melanjutkan kehidupan yang sama)

- Bom tombo le run rukus, bom tura le run kula:
(Kepiting tidak bicara sendiri, musangpun tak memberitahukan warna kulitnya)

- Wae de ase, agu wae de kae:
(Keturunan kakak dan keturunan adik)

* Go’et Dalam Perkawinan

- Api toe caing, wae toe haeng:
(Ungkapan anak wina kepada anak rona meminta anak menantu)

- Bom salang tuak, salang wae:
(Bukan jalan tuak yang cepat mati tetapi air yang mengalir terus)

- Pase sapu selek kope, weda rewa tuke mbaru:
(Memakai destar, masuk rumah melalui pintu datang meminang seorang gadis dengan resmi)

- Ita kala le pa’ang, tuluk pu’u batu mbaru:
(Melihat gadis dan terus datang meminangnya)

- Neka maring jarang laki, neka tinang jarang kina:
(Menyindir keluarga laki-laki agar melunasi belis)

- Hi nana lelo tana, hi enu lelo awang:
(Perbuatan melanggar susila)

- Anak pencang wa, ende lomes koleh:
(Istri yang bergaya muda, tua di rumah muda di jalan)

- Cawi neho wuas, dole neho ajos:
(Terpilin laksana rotan, terpintal bagai tali ajo)

* Go’et Berkaitan Dengan Tempat Tinggal

- Ca natas bate labar, ca uma bate duat, ca mbaru bate kaeng, ca wae teku:
(Satu kampung halaman tempat bermain, satu kebun tempat kerja, satu rumah tempat tinggal)

- Ulun le wain lau, ngalorn awo waen sale:
(Dari hulu sungai sampai muara/lingkungan kampung yang lebih luas)

SUMBER :
1. Buku Budaya Daerah Manggarai
Drs. Antony Bagul Dagur, M.Si
Prospek dan Strategi Perkembangan Kabupaten Manggarai dalam Perspektif Masa Depan
Penerbit Indonesia Jakarta
Pengantar: Gubernur NTT, Piet Alexander Tallo, S.H.
Dirjen Otda Depdagri, Dr. Oentarto Sindung Mawardi, M.Si

2. Buku Budaya Daerah Manggarai
Petrus Janggur, B.A
Butir-butir Adat Manggarai
Penerbit Artha Gracia
Jl. Diponegoro No.14

HANG HELANG

HELANG

Dalam masyarakat Manggarai, satu bentuk tradisi keberagamaan yaitu agama lokal dan yang sering dilakukan adalah acara teing hang atau helang/takung.
Acara teing hang dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai yang beragama lokal untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal yang dipercayai bahwa mereka mempunyai kekuatan supra empiris, dan helang/takung dibuat oleh masyarakat beragama lokal di Manggarai itu di bawah pohon besar (langke), batu besar dan mata air/temek untuk mempersembahkan kepada nenek moyang atau leluhur yang menjaga benda-benda tersebut dan diyakini mempunyai kekuatan supra empiris.
Acara teing hang atau helang/takung dilaksanakan setiap tahun baru, penti dan wuat wa’i, karena pada saat itu masyarakat Manggarai yang beragama lokal mengucapkan syukur dan memohon perlindungan nenek moyang dan leluhur melalui teing hang atau helang.

Secara sosiologis, acara teing hang atau helang/takung ini bermaksud untuk memberi makan kepada leluhur atau nenek moyang yang sudah meninggal yang diyakini memiliki kekuatan supra empiris.
Arwah leluhur yang sudah mati itu diyakini oleh masyarakat agama lokal di Manggarai memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Arwah leluhur dipandang sebagai jembatan do’a atau letang temba kepada Tuhan bagi yang ditinggalkan dan helang/takung dipandang sebagai suatu bentuk ucapan syukur roh yang tinggal atau menjaga batu besar itu dapat menjaga dan memberi berkat yang berlimpah kepada masyarakat agama lokal (di Manggarai). Atas dasar itu, acara teing hang / helang/takung dilakukan dengan maksud agar arwah leluhur itu tetap menjaga kehidupan yrang yang masih hidup dan agar nenek moyang itu tetap setiap menyampaikan doa dari orang yang masih hidup kepada leluhur yang mempunyai kekuatan supra empiris.
Nilai sosial dari acara teing hang atau takung adalah dilakukan oleh masyarakat Manggarai pada umumnya dan juga acara teing hang atau helang/takung ini dilihat sebagai suatu bentuk keyakinan masyarakat agama lokal di Manggarai kepada arwah nenek moyang atau leluhur sebagai perantara atau jembatan doa kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang memiliki kekuatan yang supra empiris. Selain itu, acara teing hang atau helang ini dilihat sebagai alat ukur yang menilai aspek religius masyarakat yang beragama lokal di Manggarai. Dan mereka percaya bahwa dengan melaksanakan acara teing hang atau helang mereka memperoleh keselamatan baik bagi dirinya maupun masyarat luas umumnya.