PERKAWINAN ADAT MANGGARAI
Dalam perkawinan
adat Manggarai kita mengenal tahapan-tahapan sebagai berikut:
A. Tahap I. Pra Peminangan
Dalam tahap prapeminangan ini dikenal
dengan istilah sebagai berikut:
1.1 Watang
Watang artinya jembatan, pengantara,
penghubung. Dalam hal mencari jodoh/mencari tulang rusuk/mencari istri (kawe toko racap/kawe wina), maka istilah
watang diartikan sebagai
pengantara/penghubung cinta antara pria dan wanita. Tugas watang ialah mengantar si laki-laki ke rumah perempuan/gadis yang
akan dilamar. Tugas watang merupakan
gerakan spontanitas secara pribadi atas dasar kebetulan bahwa seorang sahabat
atau teman perlu dibantu dalam hal kawe
toko racap (mencari istri/mencari tulang rusuk/mencari pendamping hidup).
Watang melakukan aksi mencari jodoh
biasa dijuluki “watang karong salang”
(pengantara yang menunjukkan jalan). Dengan kata lain si watang perlu mengetahui secara baik dan jelas latar belakang
kehidupan kedua belah pihak apa mungkin bisa dipertemukan atau tidak bisa. Watang memperkenalkan latar belakang
secara garis besarnya saja. Setelah itu barulah melakukan tugas karong salang (menunjukkan
jalan/mengantar langsung ke rumah orang tua perempuan).
1.2
Watang Karong Salang
Kemudian
tibalah saatnya watang berperan
sebagai watang karong salang
(mengantar laki-laki langsung ke rumah orang tua perempuan). Ada dua
kemungkinan yang akan dialami oleh watang
antara lain:
a.
Ketika perjumpaan pertama bahwa
si keluarga perempuan ada tanda-tanda saling simpati (manga belut one nai) kemudian diadakan janji datang lagi untuk tuke mbaru (masuk ke dalam rumah). Tuke mbaru arti budayanya ialah
peminangan pertama.
b.
Kalau saat karong salang (tunjuk jalan) tak ada tanda-tanda simpati (toe manga belut one nai) maka saat itu
hanya cerita-cerita biasa dan si pria dianggap tamu. Jadi boleh pulang atau
boleh nginap dan besok pagi kembali ke rumahnya seperti biasa.
B. Tahap II. Peminangan perkawinan
2.1
Tuke mbaru
Tuke mbaru (tuke: naik, masuk, mbaru: rumah). Tuke mbaru artinya masuk ke dalam rumah. Kata tuke mbaru lazim dipakai oleh orang Manggarai dalam percakapan
sehari-hari. Tuke mbaru artinya pergi
melamar perempuan. Adapun gambaran dari tuke
mbaru adalah datang beberapa orang dari keluarga laki-laki sebagai pelamar
beserta tongka (juru bicara
keluarga). Pihak keluarga perempuan sebagai pihak yang dilamar juga berkumpul
di rumah orang tua kandung perempuan dan secara resmi menerima kehadiran
keluarga laki-laki yang melamarnya.
Inti
daripada pembicaraan adalah tukar cincin (paluk
kila). Kehadiran pertama waktu peminangan resmi ini disebut dalam kiasan
Manggarai ialah “weda lewang tuke mbaru”
(injak pintu gerbang kampung dan naik ke dalam rumah).
Dalam
acara resmi ini pembicara dari kedua belah pihak disebut tongka (juru bicara). Tongka ini sungguh-sungguh memakai adat
perkawinan Manggarai. Dalam pembicara tongka
menggunakan kata “kala” (uang).
Misalnya 10 juta rupiah (cempulu kala).
2.2
Paluk kila
Paluk kila (paluk: tukar, kila: cincin). Paluk kila artinya tukar cincin. Acara tukar cincin ini dilakukan
waktu peminangan awal secara resmi antara laki-laki dan perempuan yang
disaksikan oleh kedua belah pihak keluarga besar. Prosedurnya bahwa tukar
cincin dilaksanakan bila peminangan itu diterima. Pada waktu tukar cincin,
ditunjuklah beberapa solusi (pihak ketiga) untuk menyaksikan bahwa antara
perempuan yang dilamar dengan laki-laki sebagai pelamar saling menyatakan suka
sama suka (saling jatuh cinta).
Adapun
pemahaman tukar cincin yakni dari perempuan yang menyiapkan cincin, yang
selanjutnya dikenakan pada jari manis laki-laki. Sedangkan dari pihak laki-laki
menyiapkan uang secukupnya untuk diberikan kepada perempuan yang dilamar itu
dan uang tersebut sebagai ganti cincin laki-laki. Biasanya acara tukar cincin
langsung dilanjutkan dengan acara pongo
(ikatan) tetapi semua tergantung musyawarah dari kedua belah pihak.
2.3
Pongo
Pongo (ikatan, mengikat), ada ucapan
dalam bahasa Manggarai “ngo pongo ine wai”
(pergi ikat perempuan), artinya mengadakan ikatan cinta antara perempuan dan
laki-laki lazimnya bila sudah diadakan acara pongo, maka status hubungan laki-laki dengan perempuan berada pada
masa tunangan.
Agar
ikatan itu kuat dan resmi secara adat maka pihak keluarga laki-laki menyerahkan
seng pongo (uang ikatan). Jumlah uang
ikatan tergantung kesepakatan dari kedua keluarga dengan perantara tongka. Pongo juga membuat pria dan wanita saling setia satu sama lain tidak
boleh menerima orang lain. Setelah itu ada keputusan terakhir dari pembicaraan
adat yang disebut dengan istilah “kempu”.
Setelah pongo, ada keputusan terakhir (kempu) maka ada reke kawing (reke: janji,
kawing: nikah, kawin). Rencana
penentuan tanggal berlangsungnya perkawinan/pernikahan. Kawing yaitu pernikahan antara kedua mempelai sebagai suami dan
istri yang dikukuhkan/direstui oleh kedua keluarga dan kerabat.
C. Tahap III. Wagal
3.1
Wagal
Wagal ialah puncak pengukuhan adat
perkawinan yang terakhir. Jika persiapan keluarga anak wina tidak cukup sampai acara wagal, biarlah acara wagal
ditangguhkan sambil mencari waktu yang tepat untuk acara tersebut. Biasanya
sampai 1 atau 2 tahun tergantung kesepakatan dan kemampuan anak wina.
Keistimewaan
perkawinan langsung wagal berarti
mempelai perempuan langsung diantar secara resmi ke keluarga laki-laki (suami).
Tetapi kalau hanya sampai (ngo kawing
kole kawing) maka mempelai perempuan tetap tinggal dengan orang tua
kandungnya sambil keluarga laki-laki membereskan acara wagal.
Waktu
acara wagal ada satu acara disebut tudak ela (untuk yang nasrani) penyerahan
keluarga orang tua sebagai pemberi istri kepada keluarga laki-laki sebagai
penerima istri.
3.2
Podo
Podo (antar) adalah mengantar mempelai
perempuan bersama mempelai laki-laki ke kampung suami/keluarga suami. Orang
yang ikut acara podo tidak usah
terlalu banyak cukup keluarga dan kerabat dekat yang diutus saja. Podo, disini tongka tidak perlu ikut, karena tidak ada lagi pembicaraan adat. Hanya
ada seng “leke tetak” dari anak wina.
Seng leke tetak berarti biaya
keringat keluarga pemberi istri yang pergi acara podo. Tadu lopa artinya
berarti menutupi kotak/peti kosong yang masih terbuka sebagai tempat taruh uang
waktu acara adat.
3.3
Gerep ruha
Gerep ruha (gerep: injak; menginjak ruha: telur). Gerep ruha adalah menginjak telur ayam oleh mempelai perempuan saat
pergi dan masuk pertama kali ke kampung suami. Telur yang disiapkan adalah
telur ayam kampung. Adapun sekilas prosesi acara gerep ruha adalah sebagai berikut: saat mempelai perempuan dan
mempelai laki-laki beserta rombongan keluarga kerabat memasuki pintu gerbang
kampung (lewang beo), sebagian keluarga kerabat laki-laki menunggu di
kampung, dan sebagiannya lagi menunggu di rumah adat sambil main gong (tebang nggong). Mempelai dan rombongan
diantar dengan rapih dan berbaris sambil melagukan lagu-lagu adat Manggarai.
Setelah injak telur, kedua mempelai masuk kemudian duduk di tikar (loce) dan bantal kaki (tange wai). Kedatangan perlu disyukuri
oleh keluarga pengantin pria dengan seekor ayam putih (ca manuk lalong bakok). Dalam
artian keluarga menerima
pengantin wanita dengan hati yang bersih. Dan darah ayam dioles pada ibu jari
mempelai perempuan. Setelah semua acara dibuat, semua keluarga boleh minum
kopi, makan kue, minum tuak dan ibu-ibu makan siri pinang.
Ini
adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh kedua mempelai dan kedua
keluarga besar agar tidak ada halangan dan rintangan dalam membina rumah tangga
baru di kemudian hari. Aman, sehat walafiat dan mempunyai keturunan/anak.